Selasa, 31 Desember 2013

HUFT


Dan bukannya sebaik-baik kangen itu kangen yang saling mendoakan satu sama lain, tanpa yang didoakan itu perlu tahu? 
Someone's blog

Jumat, 20 Desember 2013

Sungkawa


Sebuah berita datang dimalam hari, rasanya hampir tak bisa dipercaya. Ingatanku kemudian melayang 7 tahun lalu, semasa SMA, kami memang bukan teman dekat waktu itu. Kemudian mundur 12 tahun yang lalu, terbayang masa sekolah taman kanak-kanak, waktu itu kami bertiga, ya,  dia, aku, dan seorang lagi teman yang lain sering berangkat dan pulang bersama menuju sekolah tempat ibu-ibu kami mengajar. Kami pernah menghabiskan masa kanak-kanak bersama.

Keesokan paginya, kulihat ayahnya menangis sedih, melihat ayahnya sudah seperti melihat ayahku sendiri. Seorang ayah, dan ibu kehilangan anaknya, adik kehilangan kakaknya, teman kehilangan sahabatnya. Tapi Allah lebih menyayanginya. Ya Allah, lapangkan jalannya. 

Selamat jalan kawan.. 

Senin, 16 Desember 2013

Reminder #2

Suatu siang dari sebuah rumah di Jalan Percetakan negara IV C no 10, setelah (sesuatu yang kusebut) bersosialisasi. Bermain ke kamar teman untuk mengobrol. Aku kembali ke kamarku yang berada di lantai dua rumah itu, masih menaiki satu persatu anak tangga, ketika aku terpikir untuk mengatakan ...

"Mbak, kalo bisa kamu nikah dalam dua tahun kedepan yah? Pumpung aku masih di Jogja"
Temanku yang sedang berjalan menuju kamar mandi itu diam sesaat,
"Ngapain dua tahun? aku bakal nikah tahun depan, haha"

Kami menertawai ke-PD-annya berkata demikian padahal saat itu dia baru saja 'putus', tapi tentu saja kami mengamini. :)


***

Sekitar enam bulan setelah siang hari itu. Empat bulan setelah aku pindah ke Yogyakarta, aku menghadiri sebuah acara teman. Tuhan memang menjawab semua doa, perkataan, mungkin juga pikiran kita yang hanya besitan sebuah harapan, dengan caraNya.

Happy "lamaran" mbak, seperti doa mbak pris, semoga lancar sampai hari H. :)


Senin, 25 November 2013

Dibuang sayang


22 Juni 2013
Ketoprak monas

Mengingatkan dengan big ben
tengah kota
Hujan dan belimbing depan kamar

Tentu saja, antri!
lele saus padangnya enak! :)
 


Goodbye Jakarta, Welcome Jog-Jakarta




dalam salah satu surat kabar nasional

Berbicara tentang jakarta :

Katanya, Jakarta itu lebih kejam dari pada ibu tiri
Katanya, Jakarta hanya menjadi tempat mencari penghidupan, bukan yang dapat memberi arti pada penghuninya.
Katanya, Jakarta itu kota yg keras, tapi banyak orang sukses hidup disana.
Katanya, angin bertiup disana mengatakan kamu bukan orang Indonesia jika belum pernah kesana.

Banyak yang memberi opini tentang Jakarta, sehingga sepertinya image yang terbangun untuk yang belum pernah kesana, mengenal Jakarta sebagai kota kejam, keras, penuh persaingan, tetapi memiliki magnet besar untuk membuat orang semua datang dengan janji kesuksesannya.

Bicara soal janji kesuksesan, memang Jakarta menawarkan banyak kesempatan lebih dari kota manapun. Membukakan mata bahwa sesuatu yang kita impikan, yang kita inginkan sebenarnya sangat mungkin untuk kita gapai. Kesempatan itu bisa dicari untuk mencapai kesuksesan yang diingini.

Disisi lain, Jakarta mungkin memang keras, beberapa penghuninya begitu individualis hingga bahkan untuk bisa duduk di kursi busway saja harus berebutan. Atau mungkin banyak yang skeptis, sampai ada yg sampai pura-pura menutup mata jika ada orang tua yang tidak mendapatkan tempat duduk. Laki-laki bisa santai saja duduk meskipun melihat ada perempuan dihadapannya berdiri sepanjang perjalanan yang waktunya berlipat karena macet.

Tetapi, dalam sesak dan sempitnya busway, aku masih menemukan orang yang rela menawarkan pegangan tangan untuk kupakai sementara dia sendiri akhinya harus bersusah-susah berpegangan pada atap bus.  Katanya di Jakarta jangan percaya pada orang asing, tapi bahkan aku menemukan teman untuk cost sharing taksi karena terburu-buru mengejar waktu sementara kami memang searah. Katanya, jangan berbicara dengan orang asing, tapi bahkan aku banyak menemukan teman satu daerah yang juga sama-sama mengadu nasib disana, hanya dengan mencoba berbincang-bincang.  Katanya jakarta panas, tapi bahkan jalan setiap aku berangkat dan pulang sebegini rindang.

Percetakan Negara IV
Mungkin, suatu kota itu hanya tergantung bagaimana kita memandangnya, bagaimana kita mempersepsikannya dalam benak, sehingga begitulah yang akan kita lihat sehari-harinya. Oleh karena itu banyak teman kulihat yang merasa nyaman-nyaman saja dengan berdesak-desakan begitu, bisa saja berdamai dengan macetnya, dan hanya merasa biasa saja untuk berangkat pagi dan pulang larut malam. Untuk akhirnya dilampiaskan dengan liburan diakhir pekan, dan pergi keluar dari Jakarta, bersenang-senang, dan kembali lagi dihari kerja, seperti tidak terjadi apa-apa.

Diluar keputusanku untuk tinggal, atau tidak tinggal di Jakarta, ingatanku hanya menyisakan memori tentang kesenangan tinggal disana. Teman-teman yang menyenangkan, rumah kos yang sudah seperti keluarga, dan suasana yang tidak membenarkan tentang anggapan banyak orang. Memang benar jika Jakarta itu macet, Jakarta itu banjir, tapi mungkin setiap kota besar pasti akan punya masalah, dan Jakarta? yah... mungkin memang begitu keadaannya. Sehingga pilihan lah yang paling menentukan, apa yang paling diinginkan, yang membuatku  memutuskan, untuk meninggalkan Jakarta.

***

Sekarang, disinilah aku, menambahkan tiga huruf didepan kata Jakarta,  menjadi Yog-Jakarta (hehe). Mesikpun dimulai dengan beberapa kegalauan, kerinduan pada Jakarta, dan keterkejutan tentang kota ini, aku menikmati tinggal disini.  Diawal perjumpaan saja, kota ini sudah mempertemukan aku dengan banyak nostalgia. Aku yakin, kota ini juga akan memberikan kejutan untukku pada dua atau banyak tahun seterusnya. Di kota yang berhati nyaman, kota tempat bapak dan ibu bertemu, sepertinya aku juga berharap untuk menemukan hal yang sama. :)

Meskipun sepertinya sudah sangat terlambat, tapi aku ingin mengucapkan untuk diri sendiri, "Selamat datang di Yogyakarta.."

Kamis, 14 November 2013

Bulan Nostalgia


Reuni-an
 Aku sebut begitu karena dalam dua bulan lalu itu, aku bertemu dengan banyak teman lama. Mulai dari teman SMA yang masih sering bertemu, atau terakhir bertemu 2 tahun yang lalu, bahkan yang sudah 7 tahun tidak bertemu. Wah, 7 tahun, kata teman, " Udah nggak usah diitung, jadi berasa tuanya" :D Kemudian, aku bertemu bahkan satu kelas lagi dengan teman-teman kuliah alih jalur UNDIP. Bertemu dengan teman kuliah diploma, dan bertemu adik kos ketika masih di Magelang.  Dan yang agak mengejutkan, bahkan aku bertemu dengan teman ketika Praktik Klinik Diploma! :)

Ketika memutuskan untuk berbelok arah, aku hanya berpikir akan bertemu teman-teman baru, namun, ternyata aku diberi bonus untuk bertemu banyak teman lama. Waktu kami semua seperti sedang diiriskan untuk bertemu dalam bulan ini. Membuatku tergerak untuk membuka Folder foto lama yang jarang aku buka. Dan kemudian melihatnya sambil tersenyum-senyum sendiri. Haha.

Berbagai hal masih membuatku takjub. Beberapa teman seperti tidak berubah, masih berdandan dengan gaya yang sama, meski aku sadar, usia membuat kami sudah 'agak' berbeda. Tapi aku lihat, mereka masih menggunakan jaket yang sama seperti yang dulu aku sering lihat, jaket kesukaan mereka. Dan yang paling menyenangkan, kami bahkan bisa langsung kembali bercerita se-seru dahulu, seperti baru kemarin berpisah. Padahal 'kemarin' yang dimaksud adalah beberapa tahun yang lalu.

Ah, sepertinya perpisahan hanyalah suatu alasan untuk menemukan cara bertemu kembali. :)

Minggu, 10 November 2013

Kotak Surat #1


Disatu sisi, seperti ingin melepas burung ditangan, membiarkannya terbang bebas, menemukan tempat baru, berkawan dengan sebanyak -banyak orang, belajar sedalam-dalamnya, dan  menikmati waktu semuda-mudanya.


Disisi lain, aku tidak ingin terbang sebebas itu. Aku ingin membangun sangkarku sendiri dan untuk itu, aku ingin kau tak pergi kemana-mana, dan segera pulang.


Kemudian aku mengingat, apa yang membuatku tertarik padamu? 
Adalah hidup bebas bertualang yang kamu miliki. Aura pemuda yang muncul dari waktu dan bebas yang kamu miliki itu. 
Dan jika aku memintamu untuk pulang, maka (mungkin) aura yang aku kagumi dulu itu akan tidak ada lagi pada dirimu.


Hingga pada akhirnya, aku sadar, bahwa mungkin perkenalan ini memang hanya ditakdirkan untuk mengenal saja, tidak sampai untuk bertemu.
Tentu saja keinginan itu ada, tetapi dengan itu,
aku akan memintamu untuk mengorbankan banyak hal, yang mungkin itu adalah mimpimu,
dan aku,
tak akan tega untuk membuatmu berusaha sejauh itu.

Aku memilih untuk tetap memandangmu dari jauh, mengagumimu saja, seperti dulu saat aku pertama kali mengenalmu.

Minggu, 27 Oktober 2013

Kangen! Masih Boleh kan?


Teman itu seperti bintang, kadang terlihat, kadang tidak, tetapi kita tahu mereka ada disana 

~Confeito



Lima puluh delapan hari! Ya, hampir dua bulan sudah, aku pindah ke Yogyakarta. Meninggalkan Jakarta saja tentu akan sangat lebih mudah dari pada ketika harus meninggalkan teman-teman yang ada disana. Masih sering aku terbangun di pagi hari,  terduduk di tempat tidur dan tiba-tiba sangat merindukan teman-teman dan suasana disana. Kemudian terakumulasi, dan sungguh aku rindu kalian!

Tetapi mau bagaimana  lagi, hidup ini memang seperti perjalanan. Berpindah-pindah dari jalur satu ke jalur lainnya. Mungkin disuatu saat kita beriringan, berlawanan arah, mungkin juga bersinggungan dan beririsan. Kebetulan persinggungan  kemarin itu adalah sebuah kotak transit raksasa bernama Jakarta. Meski kadang zona nyaman itu melenakan, tapi kita tetap harus melanjutkan perjalanan bukan? Aku berjalan  kesini, kalian kesana, jalan itu akan terpisah, dan berbeda arah, entah dimana akan bersinggungan lagi.

Maka, alih-alih selamat tinggal, aku lebih senang mengatakan sampai jumpa. Sampai  berjumpa lagi kawan, sampai jalan kita dipersinggungkan kembali, sampai hidup kita beririsan lagi...
#abegekeppoh*

#tenants cwawakan*
Tim Hore IBI


PS: Kangen banget! Masi boleh kan ya? T.T

***
*dinamakan seperti nama group dalam WA

Sabtu, 26 Oktober 2013

Katanya tentang Jatuh Cinta


"Seharusnya ada cara lebih efisien, singkat dan ringkas untuk jatuh cinta. Tanpa harus bertele-tele memelihara perasaan," kata si perempuan, lantas menyeka ingus dari hidungnya. "Dengan katalog lalu memesan via telpon. Lantas menjalani hidup sebisanya, sekuat cicilan, jika mampu bahagia jika tidak ya lepaskan. Tanpa beban."

Apel dan Empat Kepala, Arman Bustoni

Minggu, 13 Oktober 2013

Aku dan Bayang


Waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi
matahari mengikuti di belakang. 

Aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri 
yang memanjang di depan. 

Aku dan matahari tidak bertengkar 
tentang siapa diantara kami yang telah menciptakan bayang-bayang. 

Aku dan bayang-bayang tidak bertengkar 
tentang siapa diantara kami yang harus berjalan di depan.



Sapardi Djoko Damono

Jumat, 27 September 2013

Belajar di Jakarta

Yang paling tidak bisa kuhadapi selama tinggal di Jakarta, adalah Macet! Pernah suatu ketika terjebak dalam kemacetan perjalanan dari Bandung ke Jakarta yang memakan waktu hingga 7 jam padahal seharusnya bisa 3 jam. Aku sungguh ternyata bukan orang yang bisa bersabar. Kutempelkan wajahku sedekat-dekatnya dengan kaca pintu karena bosan. Kemudian kulihat dengan malas orang-orang berlalu lalang dijalan, ternyata masih ada yang sempat berjualan bunga. Ya. Bertangkai-tangkai bunga mawar merah yang sedang di tawar-tawarkan termasuk kepada supir mobil yang aku tumpangi.

Kemudian salah satu atasanku, berceletuk bercanda "Dek, aku kasih kamu satu bunga, tapi sabar  deh ya, memang lagi macet" dengan logatnya yang ke-batak-batak-an.

Aku tersenyum dan mengalihkan pandanganku dari jendela, aku jadi menyadari, atasanku sedari tadi sama sekali tidak mengeluh dengan kemacetan ini. Tidak pula terlihat jenuh, atau kehilangan mood dengan kemacetan ini. Padahal aku tahu setelah dari Bandung itu, beliau harus sudah berada di suatu tempat pukul 16.00 WIB, dan saat itu sudah pukul 17.00 WIB, tambah lagi kami terjebak kemacetan sehingga mobil hanya bergerak 20 Km/jam.

Beliau sibuk mengerjakan tugasnya dismartphonenya, dan sesekali menelepon orang jauh dikota lain sana, hanya -h a n y a- untuk memberi semangat. Aku, selama berada di Ibukota, sungguh takjub dengan  ibu-ibu atasanku itu. Entah energi dari mana yang membuat mereka bersemangat untuk memperjuangkan sesuatu  yang (menurutku) sudah tidak ada hubungannya dengan mereka. Dimasa usia mereka yang sudah senja, mereka tidak memilih duduk menimang cucu, bersantai-santai di kebun rumah mereka yang luas. Mereka memilih aktif di Organisasi ini, merelakan waktu mereka untuk habis di perjalanan menuju tempat sana sini untuk menghadiri pertemuan, mendiskusikan sesuatu, memperjuangkan Bidan padahal mereka saat ini sudah tidak akan berdinas lagi sebagai bidan. Katanya mereka berjuang demi bidan agar setara dengan profesi lain. Entah mungkin aku yang terlalu naif tidak bisa melihat dimana mereka meletakkan kepentingan mereka sehingga mereka mau sedimikian berlelah-lelah berjuang demi profesi ini. Tetapi aku sungguh kagum dengan semangat dan tenaga mereka diusia yang sudah terbilang senja.

Mereka sudah beradaptasi dengan baik dengan kota Jakarta ini, menjadikan Jakarta yang macet menjadi teman dalam perjalanan sehari-hari mereka yang padat jadwal. Bersama dengan Jakarta ini mereka menemukan kesuksesan mereka di bidangnya. Sedikit yang aku tahu tentang pengambilan kebijakan di negeri ini, di tingkat pusat, yang dapat memberi pengaruhlah yang dapat bergerak menentukan kebijakan yang mengikat orang banyak itu. Terlepas dari apa motif dan kepentingan mereka, aku hanya ingin mengingat semangat dan daya juang mereka yang perlu aku teladani. Mungkin seperti itu lah yang akan terjadi jika kayu bersambut dengan api. Passion yang menemukan jalannya, berbuah kecintaan yang total pada pekerjaan yang dikerjakannya, bahkan sampai tua.

Dan tak kupungkiri, jika saja aku tak ke Jakarta yang macet itu, mungkin aku tak akan belajar tentang hal ini. Ya, sebelum aku lupa tentang kota itu, aku ingin mengenang semua pikiran yang sempat terlintas selama aku menjalani hari-hariku disana. Sebagai jawaban pertanyaanku yang lalu, untuk apa aku harus berada di Jakarta.

Selasa, 24 September 2013

Mahasiswa lagi


Sudah sejak awal September ini perkuliahan dimulai, tapi hingga saat ini, aku belum merasa bahwa aku kembali memasuki dunia perkuliahan. Aroma perkuliahan sebenarnya langsung tercium ketika memasuki gerbang kampus dan melihat lorong-lorong penuh mahasiswa. Tapi, rasanya masih terkaget-kaget kalau ternyata terlalu banyak yang sudah aku lupa, masih banyak yang harus dipelajari kembali. Kemudian bertemu tugas-tugas, yang membuat harus belajar lebih banyak lagi. 

Entah kenapa, rasanya aku belum bisa fokus disini. Rasanya mindset di otakku belum mengatakan kalau aku sedang bersekolah lagi. Hingga tadi siang, Ketua Minat di program studi yang aku ambil, memasuki ruang kelas. Beliau mengatakan  selamat datang, capailah suatu tujuan. Jika anda belum memiliki tujuan, maka saat ini adalah saatnya anda menentukkan arah tujuan tersebut.

Ucapan beliau mengingatkanku, tentang alasanku kembali ke bangku ini. Aku tak tahu apakah nantinya jalan ini akan mengarah pada tujuan seperti yang sudah direncanakan. Tapi aku yakin, satu langkah kembali kebelakang ini, merupakan landasan untuk melanjutkan beribu langkah kedepan.

KIA-KR 2013 in Outbond

Bersama mereka kumulai lagi sebuah perjalanan. Bersama-sama untuk menemukan hal baru, belajar memahami, dan melakukan sesuatu yang positif untuk diri  bahkan mungkin untuk bangsa ini.

Kuucapkan pada diriku sendiri, "Selamat menjadi mahasiswa (lagi).."

Minggu, 15 September 2013

Carpe Diem

Carpe diem!

Kutipan puisi latin ini merupakan pesan yang aku terima dari teman setelah aku menuliskan sedang berada di lombok dalam status account social media-ku beberapa waktu lalu. Kubaca sekilas.

Kemudian, keesokan harinya, tiba saatnya aku snorkling di selat kecil antara gili trawangan dan gili meno. Aku, yang hanya bisa renang gaya botol (hehe), langsung ragu apakah akan ikut atau tidak, mengetahui site snorkling kami adalah laut (meskipun laut itu hanya selat dan dangkal). Lalu, kuingat pesan temanku, Carpe diem. Seize the day.  Yah, kesempatan mungkin tidak datang dua kali, kesempatan paling baik untuk mencoba semua hal baru adalah saat ini. Iya kan? Karena itu, tentu saja aku mencobanya, meskipun ada sedikit ragu pada detik saat kakiku akan menyentuh air laut.

Tetapi hap!
<3 span="">
Meskipun agak sulit membiasakan nafas dengan mulut, tapi bisa melihat laut sejernih itu sungguh menyenangkan. Dengan bonus minum air laut yang entah kenapa rasanya asin luar biasa  disana, dan lelah walaupun baru sebentar, aku kembali ke perahu. Teman yang tidak ikut snorkling bercerita, melihat aku dan teman-teman snorkling di laut,seperti melihat korban kapal tenggelam, karena menyebar dan terombang ambing oleh ombak. Kalau aku melihat itu sebelumnya pastilah aku tidak akan berani. Haha. Tapi aku sudah mencobanya, yah rugi adalah ketika kita tidak memanfaatkan kesempatan untuk mencoba semua hal baru untuk pertama kalinya.

***

Ketika kita sudah bisa beradaptasi dengan suatu hal, dan menjadikannya sebuah kebiasaan, maka waktu akan berlalu begitu saja ketika kamu mengerjakannya. Ya, rutinitas ini bernama pekerjaan. Waktu rasanya hanya berlalu begitu saja selama beberapa bulan terakhir. Senin sampai Jumat, Sabtu dan Minggu, pekerjaan yang lebih sering berada di balik meja. Aku menyenangi atmosfir kekeluargaan disini,  banyak hal baru pula yang aku pelajari, tapi rasanya tetap saja, hatiku berkata bukan seperti ini yang ingin aku lakukan seterusnya.

Lalu seperti apa? Aku memang pemimpi, tapi mimpiku tak muluk-muluk. Sederhana saja, aku ingin menjadi ibu rumah tangga yang baik, memiliki pekerjaan yang memungkinkanku melakukan tugasku menjadi ibu rumah tangga itu dan tinggal tidak 'terlalu' jauh dari orang tua. Bukan seperti ini, bekerja nine to five, lima dalam tujuh hari, hanya mempunyai jatah cuti 12 dalam 365 hari, masih pula terkadang skip weekend.

Kemudian, suatu ketika  kesempatan terbuka. Kesempatan untuk menemukan pekerjaan yang lebih fleksibel untuk cita-citaku itu. Kesempatan untuk melakukan hal yang aku sukai yaitu bersekolah lagi. Tetapi tentu saja itu artinya keluar dari zona nyaman, keluar dari kebiasaan hanya duduk dan bergaji. Sesaat kemudian aku sedikit ragu. Inikah jalan?

Tetapi kemudian aku ingat lagi pesan temanku, Carpe diem, iya betul, kesempatan ini, tak akan aku tahu akhirnya jika aku tidak mencobanya.
Teman yang lain juga pernah berkata "Memang, perjalanan kita itu sudah di takdirkan, tetapi kita wajib untuk mengusahakan. Kita baru boleh berhenti untuk mengejar suatu mimpi, dan berkata takdir kita tidak mengarah kesana, hanya jika ketika semua pintu kesempatan yang dicoba sudah di tutup."

Oleh karena itu, kesempatan ini datang, kesempatan ini masih terbuka untukku, tidak ada yang menghalangiku untuk menuju kesana selain pilihanku sendiri. Maka, kumantapkan niat. Kubulatkan tekad. Mungkin kemudahan selama aku mengusahakannya, adalah petunjuk dari Allah tentang jalan yang aku minta.

Berbekal semangat dari orang tua dan teman-teman aku mantap memilih.  Kuhubungi mama untuk mengatakan pilihanku ini, mama memberi doa,  semoga harapan mama dan harapanku bertemu disuatu titik setelah aku memilih pilihan ini.  Diakhir percakapan kami, mama berkata, Bulik bilang punya teman, pria, usia cukup matang, di Magelang, sudah bekerja, dan sedang mencari pasangan untuk menikah, kamu mau dikenalkan?

Aku terdiam, petir menyambar.. (Haha, hashtag lebay)Tolong yaaaa... Tolong! Kamu! Kamu! Yang katanya naksir saya, hentikan agenda berbau perjodohan ini. :( 

***
Carpe diem, Quam minimum credula postero
Seize the day, Putting as little trust as possible in the next (Day)
Baris puisi oleh Horace
***

Tentang pesan mama tadi...  I believe in the next day :)

Senin, 19 Agustus 2013

Agustus Terpanjang

Einstein pernah menyatakan bahwa waktu itu relatif, bukan absolut. Waktu seperti karet. Ia bisa memanjang atau memendek, relatif, bergantung bagaimana kita memperlakukan karet tersebut. 1 detik bisa terasa seperti 1 tahun, dan sebaliknya  1 tahun bisa berlalu rasanya seperti 1 detik. Tergantung dari bagaimana kita memperlakukan waktu tersebut.

Dan bagiku, bulan Agustus ini, adalah Agustus terpanjang yang pernah terasa. Banyaknya rencana di bulan ini membuatku menunggu datangnya Agustus. Mulai dari pulang, dan libur selama 2 minggu, membuatku menunggu-nunggu datangnya jauh dari bulan-bulan sebelumnya. Tiket pulangku yang bertanggal 2 Agustus bahkan sudah dipesan 90 hari sebelum hari H. Janji libur selama 2 minggu di Bulan Agustus  itu juga sangat aku tunggu, setelah merasakan rasanya tidak bisa libur lebih dari 4 hari selama setahun belakangan.

8 hari dibulan Agustus, Lebaran datang. Meskipun sudah tidak seperti anak kecil yang sangat menyenangi hari Lebaran, aku tetap menanti datangnya lebaran itu. Menanti membuat ketupat bersama bapak, makan soto yang cuma dimasak sekali setahun, dan menanti berlebaran di Magelang yang selalu mengenyangkan.

9 hari kemudian, ada acara tujuh belasan. Entah kenapa, di kampung ku, Agustusan seperti acara yang tidak patut dilewatkan. Pertanyaan "pulang nggak pas pitulasan?" sering dilontarkan sebagai sapaan bagi sesama perantau. Namun ketika hari itu tiba, dan aku kebetulan sedang berada di rumah, pitulasan  seperti berlalu bergitu saja. Yah, 17 Agustus hanya akan sekedar menjadi tanggal dan hari, jika kita tidak memaknainya.

Dan yang lebih membuat Agustus ini sangat terasa tiap hari- harinya, adalah karena aku menunggu. Jawaban atas banyaknya pertanyaan yang dilontarkan bapak, ibu, juga beberapa teman yang aku beritahu, dijanjikan akan diumumkan bulan ini. Tapi belum juga datang. Aku punya pikiran positif, bahwa Tuhan akan mengabulkan setiap doa. Tergantung dari apa yang kita minta dan kita usahakan. Dan pada titik ini, aku percaya, apapun hasilnya nanti adalah jawaban terbaik dari doaku.

Setiap hari dalam bulan Agustus ini aku meyakinkan diri demikian, dan imbasnya, bulan Agustus kali ini sungguh dapat aku hitung tiap jamnya. Ini baru hari ke-19 di bulan Agustus, tapi rasanya seperti sudah banyak bulan. Seperti karet yang ditegangkan maksimal. Agustus kali ini menjelma menjadi Agustus terpanjang yang pernah terasa.

Ada yang berkata, bahwa Allah mengajarkan kita melalui alam semesta. Bahwa kegelapan paling gelap adalah pada dini hari menjelang matahari terbit. Jadi ketika rasanya hari-hari ini adalah hari yang tergelap, maka katanya, "Selamat! Karena sebentar lagi matahari akan terbit... "

Semoga, Agustus terpanjang ini menjadi agustus yang Indah nanti pada waktunya. :)

Kamis, 01 Agustus 2013

Life is an adventure

I want to live my life to the absolute fullest
To open my eyes to be all I can be
To travel roads not taken, to meet faces unknown
To feel the wind, to touch the stars
I promise to discover myself
To stand tall with greatness
To chase down and catch every dream

Life is an adventure


* Narasi iklan Susu Nutrilon 

Rabu, 10 Juli 2013

Jodoh, Jauh dan Dekat


Jodoh itu mendekatkan yang jauh. Menjauhkan yang dekat.


Bagaimana tidak?

Ada orang yang selalu aku temui setiap pagi, saat berangkat ke kantor, berpapasan di jalan yang rutin aku dan orang lain itu lewati. Membeli makan ditempat yang sama, menunggu di halte yang sama, berada di kendaraan umum yang sama, tapi aku tak mengenalnya. Bertemu tapi sepertinya aku tidak berjodoh untuk mengenalnya.

Sementara itu,
Ada yang terpisah jarak ratusan kilometer, tak juga saling berpapasan di jalan, 
tidak berada dalam satu kota, tapi aku mengenalnya.

Jika begitu, 
lalu berjodohkah kami untuk bertemu? Berpapasan di jalan?
Membeli makan di tempat yang sama, kemudian 
untuk berbagi tempat duduk dengannya di kendaraan umum? 
Seperti aku berjodoh untuk mengenalnya?


Tanpa Judul


Salam, salam, salam,

Terimalah salam dari kami, yang ingin maju bersama-sama..

 

400 anak dari usia 3 hingga 8 tahun memasuki ruangan, bersama-sama mereka menyanyi syair tersebut, suaranya bergema memenuhi ruangan, membuat bulu kuduk meremang, bukan karena takut tapi takjub.  Suara mereka membuatku merasakan aura ... apa ya? aura takjub dan semangat mungkin. Para tamu undangan lain sibuk tertawa senang dan memberikan tepuk tangan, tapi aku? Tersenyum pun tak bisa, aku sibuk menahan diri agar tidak menangis! Entah kenapa rasa haru muncul memenuhi kerongkonganku sehingga mataku berbayang penuh air mata. Tapi aku tidak ingin menangis di tempat ramai seperti ini. Ah, kenapa ya, aku cengeng sekali, hal begini saja membuatku ingin menangis.
 
Pernah dilain kali, aku menonton film garuda di dadaku dan King bersama rafi, aku pun tak bisa menahan untuk tidak menangis saat melihat tokoh utama mendapat semangat luar biasa cinta pada tanah airnya, lagu garuda di dadaku bergema, kemenangan yang dipersembahkan untuk negara. Hal begitu membuatku menangis terharu. Rafi, adikku, menertawakanku.

Sepertinya, jika sudah menjadi ibu nanti, mungkin aku adalah tipe ibu yang tidak akan bisa berkomentar, dan hanya bisa menangis jika melihat anakku sekedar tampil di panggung, membaca puisi, atau menyanyikan 'You are my everything'. Haha, payah sekali.

Entah, patriotisme over dosis, atau terlalu cinta pada anak-anak, atau memang karena cengeng, aku menangis pada hal yang orang lain umumnya tidak akan menangis jika melihatnya. 

Datang ke sebuah acara AICINDA  (Anak Indonesia Cinta Damai) adalah sebuah kebetulan yang mengingatkanku pada kebiasaanku yang 'aneh' ini. Acara yang aku datangi setengah hati hanya karena aku tidak menemukan alasan, untuk mengatakan tidak bisa datang. Hingga akhir acara, aku masih sibuk bertepuk tangan sambil sedikit mengusap air mata. :' )


Selasa, 02 Juli 2013

...

Dan, kemarin.
Jawaban dari pertanyaan sudah tersedia.
Tapi,
Ragu, entah kenapa datang.

Tuhan, inikah jalan?
Inikah langkahku untuk mendekat?

Rabu, 26 Juni 2013

26 Juni


26 Juni, Tahun lalu

Aku sedang excited bersiap akan pergi, setelah sesorang mengajakku makan, malam itu. Suara gaduh kecil terdengar di depan pintu kamarku, tak lama terdengar suara imut dan tidak jelas memanggil namaku dan mengetok pintu.

Kubuka pintu dan terlihat 'mbak Aira'  dengan tanpa ekspresi, mengacungkan kue kecil dengan lilin menyala di tengahnya, sambil mengeja mengatakan.

"tse..la..mat.. u..lang..tahun..kak..ariii.." kemudian dia tersenyum, manis sekali.

Tangan jenar menggapai-gapai dari belakang, mbak Rinta dan mas Dani (ibu dan bapak kosku yang baru mengenalku selama sekitar dua bulan) tersenyum di belakangnya dan mengucapkan selamat ulang tahun. Mereka tahu.

Aku tersenyum saat itu. Terharu.


26 Juni, Tahun ini

Happy birth day "ijjah" Wish You All the Best - Tim Hore IBI
Meskipun sekarang aku mendapat julukan baru, ijah (fiuuhh), haha, tapi rasanya hangat di kota yang katanya "sekejam ibu tiri" ini.

Dan lagi sorenya, aku tertawa terpingkal-pingkal, setelah menggagalkan sesuatu yang seharusnya jadi kejutan untukku sore ini. Ahaha. Tapi toh tetap diadakan, memang tidak perlu kejutan, karena sudah jelas ini tidak terlihat seperti kejutan :D

Tradisi mereka adalah, apapun selama sudah ada lilin terpasang, maka sudah sah untuk disebut kue ulang tahun.  :D

Di hari yang selalu berulang setiap tahun ini, selalu ada kegembiraan yang berulang pula. Selamat 26 Juni. :)

Minggu, 23 Juni 2013

Sabtu Tidak Jelas : Berbuah Kawan


"Kata temenku besok Sabtu ada Food Fest di Monas" temanku berkata melalui pesan singkat.

Percaya saja, kami berempat semangat pergi ke Monas, pumpung libur dan memang tidak ada acara. Bahkan temanku sengaja menunda kepulangannya ke Bogor agar bisa ikut bersama ke Monas Sabtu itu.

Hari itu, Sabtu, 22 Juni, ulang tahun kota Jakarta, hari itu Busway gratis, kami ingin mencobanya. Sampai di halte Salemba UI halte cenderung sepi, wah kami semangat, sepi ternyata. Kami naik bus jalur Kampung Melayu, untuk transit di Halte Pasar Senin menuju Monas. Perjalanan lancar hingga di halte Pasar Senin ternyata arah Harmoni-Ancol antrian mengular. Kira-kira lima menit bus yang ditunggu datang, wah, penuh sesak, hanya beberapa orang yang bisa masuk. Bis berikutnya kembali datang lima menit kemudian, dan lagi-lagi penuh. 

Panas dan gerah, aku kemudian bercerita "Pernah aku mau pergi ke kawasan Sudirman, berencana naik busway. Sampai di halte transit pertama (Perjalananku waktu itu harus transit dua kali) Bus nya tidak segera datang, antrian padahal sudah panjang, dan aku harus sampai disana Pukul 14.00 tetapi pukul 13.20 aku masih belum mendapat bus, akhirnya aku turun dari tempat antrian ditepi jalur busway itu langsung menghentikan taksi, dan sudah, akhirnya naik taksi."

"Ayolah, naik taksi aja" kata teman-teman. Haha, akhirnya kami batal naik busway, keluar dari halte dan langsung naik taksi. Sedari awal memang lebih mudah naik taksi, dekat, dan kami juga berempat, biayanya akan sebanding dengan naik busway. Hanya karena ingin mencoba Busway gratis, di hari ulang tahun jakarta, kami berjuang dalam antrian, toh akhirnya tak sabar juga. :D
'Sempat' naik bus way gratis
Kurang dari setengah jam, kami tiba di Monas. Dari kejauhan Monas tampak sepi-sepi saja, memang terlihat ada beberapa tenda putih, tetapi kurang ramai jika memang ada festival, kami masih berpikiran positif. Sampai disana, aktivitas disana tak seberapa. Tapi kami belum menyerah, barang kali tenda disana memang berisi stand-stand makanan. Semakin mendekat, tenda-tenda itu kosong. Memastikan, kami bertanya kepada salah satu penjual makanan. 

"memang nggak ada mbak, cuman ada pameran Monorel di dekat Gambir, itu pun dibuka masih nanti sore" Haha, Tet Toot!! Memang tidak ada! :D Kami yang sudah berharap akan mencicip makanan, dan lapar, akhirnya memutuskan untuk makan di Stasiun Gambir, dari pada harus kembali ke kos tanpa melakukan apapun kan? Haha, benar-benar hari yang tidak jelas.

Siang itu kami lanjutkan dengan sholat di Istiqlal, karena kami masih belum ingin pulang. Beruntung dalam perjalanan ke Monas, kami melihat ada pameran yang cukup menarik untuk di kunjungi.
Haha, akhirnya! Akhirnya jalan-jalan hari ini bertujuan jelas. Dimana?
Pameran flora fauna 2013
Yap! di lapangan Banteng
Dan, hari itu berakhir dengan aku mendapat teman kamar baru. 

Welcome to this cute "little things"