Jumat, 24 Januari 2014

Dreamer



Gazing through the window at the world outside
Wondering will mother earth survive
Hoping that mankind will stop abusing her sometime

After all there's only just the two of us
And here we are still fighting for our lives
Watching all of history repeat itself
Time after time

I watch the sun go down like everyone of us
I'm hoping that the dawn will bring a sign
A better place for those Who will come after us ...
This time
  
Your higher power may be God or Jesus Christ
It doesn't really matter much to me
Without each others help there ain't no hope for us
I'm living in a dream of fantasy
Oh yeah, yeah, yeah

If only we could all just find serenity
It would be nice if we could live as one
When will all this anger, hate and bigotry ...
Be gone?

I'm just a dreamer
I dream my life away
Today
I'm just a dreamer
Who dreams of better days
Okay
I'm just a dreamer
Who's searching for the way
Today
I'm just a dreamer
Dreaming my life away

(Dreamer - Ozzy Osbourne)

Selasa, 21 Januari 2014

Kau (memanggilku) Malaikat

Baru pertama kali ini aku membaca tulisan karya Arswendo Atmowiloto. Namanya sering kudengar tentu saja, sebagai ibu yang melahirkan Keluarga Cemara. Kebetulan teman meminjamkannya padaku sebagai "sangu" libur sebulan, dimusim hujan ini. 


Novel ini bercerita  tentang sosok "aku" yang bisa menemui manusia disaat-saat terakhir hidup mereka, dibeberapa tempat berbeda, dalam waktu yang sama. Dia dapat menghibur, namun tidak sepenuhnya menolong mereka untuk tidak mati pada saatnya.


"Benar kan, kau malaikat?"

"Kau biasa memanggilku begitu. Kalian biasanya menyebutku begitu"

"Berarti benar kau datang untuk mencabut nyawaku"

"Tidak persis begitu. Aku tidak mencabut nyawa... Aku datang menjemput."
-p.7

Dia datang pada siapa saja, yang sudah mendekati waktunya untuk di jemput. Dia datang pada Ibu Tesarini, seorang istri yang setia, tulus, mengabdi pada suami, anak dan menantunya. Di saat-saat mendekati akhir waktunya yang ingin ia tanyakan adalah suaminya, yang sudah meninggal lebih dulu, yang hidupnya selalu bahagia  dan yang mempermalukan dan merendahkan dengan mengawini adik menantunya.



Pada preman yang dibakar hidup-hidup, pelan-pelan, dikeroyok, dibakar dan tak mau dikasihani. Pada seorang gadis penuh pesona, yang ditembak polisi karena menolak diperkosa. Seorang  pengemudi bis yang tahu kendaraannya kurang layak jalan, serta anak-anak sekolah yang menumpang. Juga, hampir saja, seekor ayam.



Dia datang, dan dapat berbincang dengan mereka semua, saat mereka sudah tidak mungkin kembali hidup. Mereka berkeluh kesah, bercerita tentang hidup yang mereka jalani, tentang rencana-rencana yang belum sempat mereka lakukan, tentang penyesalan. Dia mendengarkan, mengetahui dan mengerti perasaan itu, tapi tidak bisa merasakannya.


"Andai bisa, apa yang akan kaulakukan? Menunda?"

"Kami tidak bisa berandai-andai, Ibu."

"O, agak membosankan juga"

"Kami tak merasakan itu."

 -p.48

Cara penulis menceritakan  satu per satu tokoh yang diceritakan, melalui kacamata "aku" yang sebagai malaikat ini sungguh menarik. Seperti puzzle yang dirangkai satu persatu, kemudian utuh menjadi pesan yang dapat dibaca sebagai sebuah perjalanan hidup tokoh-tokohnya hingga detik kematian, bahkan setelah kematian itu terjadi. Ketika sedang membaca novel ini, kebetulan aku mendapat kabar tentang beberapa teman seumuranku yang meninggal. Beberapa bagian dari cerita ini membuat aku (terkadang merinding) membayang-bayangkan seperti apa jadinya mereka yang meninggal muda itu, lalu kemudian bagaimana aku nantinya. Memang, tak ada yang terlalu tua, atau terlalu muda untuk meninggal, semuanya tepat, sesuai waktunya.



Kemudian "aku" datang pada seorang anak kecil, bernama wedi, wedhi yang dalam bahasa Jawa berarti pasir, dipanggil sebagai  Di. Umurnya hampir empat, dan ia berkata pernah melihatnya berkali-kali, bahkan ketika didalam kandungan. Di berbeda. Di dapat tetap berada di pangkuan orangtuanya saat seharusnya meninggalkannya. Bahkan Di sekarang masih dapat sering menemaninya, Di masih berada di bumi manusia.


"Karena kau bukan manusia, Kau tak akan pernah menjadi manusia. Sedangkan manusia bisa menjadi malaikat."

"Benarkah , Di?"

 -p.190
Hingga pada akhirnya, "aku" menemukan kangen, merasakannya.  Ia yang sedang bersama nyawa-nyawa lain menghadapi kematian yang sesungguhnya sangat indah dan menyenangkan, melihat ternyata hidup manusia juga penuh pesona.


Mereka mengagumkan justru karena bisa terbang kemanapun dengan tembang, dengan puisi, dengan senyum, dengan air mata. Mereka tampak ganjil, aneh, memperdebatkan atau melakukan hal-hal yang menurutku sia-sia, tetapi bisa  membuat mereka bahagia, tertawa dan menerima. Air mata, itulah sebenarnya sayap paling penuh makna.

Aku berharap memilikinya. 
-p.271
Meskipun buku ini bercerita tentang seorang malaikat yang dapat menjemput mereka yang mati, tapi buku ini lebih banyak bercerita tentang kehidupan, yang direfleksikan dalam proses kematian atau cerita setelah kematian itu terjadi. Selain itu penulis menggambarkan malaikat disini tanpa tendency pada agama tertentu. Malaikat disini tidak jelas dan tidak digambarkan sebagai laki-laki atau perempuan, tidak tahu apakah ia menyeramkan ataukah tampan. Ia langsung dikenali sebagai malaikat oleh orang-orang yang akan dijemput dalam cerita ini.
Mungkin, penulis hanya ingin memberi gambaran dari sudut pandang yang benar-benar berbeda. Memberi pandangan tentang kehidupan, ketika sehari-hari kau dihadapkan dengan kematian...

In conclusion : Worth to read, I think.
Selamat membaca! 

Kamis, 16 Januari 2014

Cerita : Kado yang Terlambat

Hujan petang itu menemani mendung  yang sudah muncul sedari pagi. Dari sebuah rumah kos yang tua, salah satu penghuni kamarnya baru saja selesai mandi, sembari mengeringkan rambutnya perempuan itu menengok ponselnya dan mendapati sebuah pesan, dari salah satu temannya :

"Aku baru pulang dari lereng merapi, dan kubawakan untukmu hadiah yang kau minta dari dulu ... "

Ia terdiam sesaat, berpikir, kemudian ia membalas

" Apa ya? Aku lupa ... *emoticon tersenyum meringis*"

" Ini dia" laki-laki diseberang sana mengirimkan sebuah foto. Dengan sabar perempuan itu menunggu untuk melihat foto apa yang dia kirim. Kemudian muncul lah, foto seikat bunga kecil-kecil tanpa daun yang dipegang tangan.
" Edelweis?? Wuaaa!! "

" Iyaa, kamu dulu pernah minta kan?"

" Emang iya? Kapan? Lagian ngapain kamu hujan-hujan ke Merapi?"

"Tadi memang ada acara disana, nggak naik kok cuma di lereng, liat ada edelweiss, terus aku inget kamu, dulu aku pernah menjanjikan bunga ini buat kamu"

" Iya? Kapan?"

"Pas ulang tahun mu" itu sudah 5 bulan yang lalu. Perempuan itu kemudian teringat percakapannya dengan laki-laki  itu di hari ulang tahunnya, tentang hadiah, tentang bunga, bahwa aku tak ingin diberi kado bunga mawar, karena ia bisa layu.

" Ah, tapi itu setengah bercanda"

" Tapi aku janji akan membawakannya, dan akhirnya aku punya kesempatan untuk membayar janji itu"
" Harusnya nggak perlu sampai seperti itu, tapi ... Terimakasih *emoticon tersenyum*"
Memang sungguh benar-benar ada senyum dibibir perempuan itu. Hatinya tergugah.


" Jadi ini, kado ulang tahun yang terlambat datang ya?"

" Ah iya, kado cantik.. " senyum itu selalu mengembang di bibirnya.


***

Keesokan harinya, setelah mereka bertemu diantara jam kuliah, edelweis itu sudah ada ditangannya.  Ia pandangi, dan diantara rasa senangnya, entah kenapa ia merasa ada ketidakadilan disana. Mengapa ia tidak dijatuh-cintakan pada laki-laki itu saja, yang memenuhi setiap janji yang diucapkannya, yang selalu ingat apa yang perempuan itu katakan padanya. Mengapa hatinya malah jatuh pada laki-laki lain, yang tak juga bisa memenuhi janjinya, padahal sesungguhnya janji itu sangat sederhana. Ibarat kau disodorkan segelas susu tapi justru merindu pada segelas air putih.

Jumat, 03 Januari 2014

Serupa Pagi

Anak-anak bukanlah miniatur orang dewasa dalam tubuhnya yang kecil. "Seandainya hidup serupa hari, mereka ibarat pagi" (literatur)

Kamis, 02 Januari 2014

Welcome 2014

Yang lalu biarlah berlalu
Hehe, sepertinya akan aku perlakukan begitu saja tahun 2013 yang telah berlalu. Yang jelas, banyak perpindahan yang aku alami tahun itu, menjadi mahasiswa lagi, berpindah ke tempat baru lagi, Yogyakarta, (akhirnya!) dan yang lebih melegakan hatiku juga mulai berpindah sepertinya. (^,^) #abaikan

Aku tak ingin memulai tahun kuda ini dengan terlalu banyak resolusi, aku ingin agar semua berjalan mengalir saja. Hanya berharap semoga apa yang sedang dijalani berjalan lancar dan sesuai rencana, berharap kesehatan untuk bapak, ibu dan rafi, dan semoga ada banyak kejutan menyenangkan tahun 2014 ini. Ah iya, semoga tahun 2014 ini aku lebih sehat, heran, akhir tahun kemarin aku tutup dengan rekor sakit sampai 4 kali dalam 1 bulan. Sehat sungguh sangat berharga.

Dan lagipula, libur semester pertamaku ini juga baru dimulai, masih ada 3 minggu menanti untuk dimanfaatkan. Selamat awal tahun semua!!  :)