Selasa, 10 Maret 2015

Cemas

Kombinasi antara harapan, tekanan, 14.937 data sampel penelitian, dan akhir periode siklus bulanan membuatku terlalu sentimentil. Seakan menjadi wanita dengan beribu bayangan kecemasan. Ya Tuhan..

Kemudian, setelah percakapan pagi tadi dia berpesan : "Tak perlu banyak pikiran, nanti hatimu tak tenang."

Ya, pikiran itu harus aku singkirkan.

Kemudian ada tulisan seseorang (tak kukenal) tak sengaja terbaca juga memberi pesan : 

Sisakan kecemasanmu untuk nanti. Akan tiba waktunya kamu cemas menunggu ia pulang untuk membetulkan saluran air yang rusak, sementara air mulai menggenangi dapurmu atau musang entah dari mana, tersangkut di langit-langit rumahmu.
Sisakan kecemasanmu untuk nanti, ketika kamu suatu hari terbangun terlalu siang dan lupa untuk menyiapkan kopi hangat kesukaannya, sementara ia sudah telanjur memulai kerja tanpa kopimu. Cemaslah karena mungkin ia tidak bakal jadi membuatkanmu rak buku yang baru, atau malah batal membelikan sepeda roda tiga untuk si bungsu.
Sisakan kecemasanmu untuk nanti, suatu saat kamu betul-betul butuh.
Meskipun tidak ada yang sia-sia di dunia ini, toh pada akhirnya kamu mesti mengerti bahwa ada yang perlu dan tidak perlu–seperti kecemasan itu sendiri. Setelah berpikir demikian, terserah apakah kamu merasa sekarang perlu untuk cemas, atau tidak perlu?


Ya, rasanya memang aku tak perlu cemas.

Kemudian, peristiwa malam ini. Masalah bahkan selesai  setelah aku seharian melupakan sumber masalah. Lalu berusaha melihat ulang celah mana yang terlewatkan. Dan.. Taraa! Tuhan membuka jawaban.

Ya, sungguh, tak ada alasan bagiku untuk cemas.
Tuhan menyelesaikan segalanya.