Senin, 25 November 2013

Dibuang sayang


22 Juni 2013
Ketoprak monas

Mengingatkan dengan big ben
tengah kota
Hujan dan belimbing depan kamar

Tentu saja, antri!
lele saus padangnya enak! :)
 


Goodbye Jakarta, Welcome Jog-Jakarta




dalam salah satu surat kabar nasional

Berbicara tentang jakarta :

Katanya, Jakarta itu lebih kejam dari pada ibu tiri
Katanya, Jakarta hanya menjadi tempat mencari penghidupan, bukan yang dapat memberi arti pada penghuninya.
Katanya, Jakarta itu kota yg keras, tapi banyak orang sukses hidup disana.
Katanya, angin bertiup disana mengatakan kamu bukan orang Indonesia jika belum pernah kesana.

Banyak yang memberi opini tentang Jakarta, sehingga sepertinya image yang terbangun untuk yang belum pernah kesana, mengenal Jakarta sebagai kota kejam, keras, penuh persaingan, tetapi memiliki magnet besar untuk membuat orang semua datang dengan janji kesuksesannya.

Bicara soal janji kesuksesan, memang Jakarta menawarkan banyak kesempatan lebih dari kota manapun. Membukakan mata bahwa sesuatu yang kita impikan, yang kita inginkan sebenarnya sangat mungkin untuk kita gapai. Kesempatan itu bisa dicari untuk mencapai kesuksesan yang diingini.

Disisi lain, Jakarta mungkin memang keras, beberapa penghuninya begitu individualis hingga bahkan untuk bisa duduk di kursi busway saja harus berebutan. Atau mungkin banyak yang skeptis, sampai ada yg sampai pura-pura menutup mata jika ada orang tua yang tidak mendapatkan tempat duduk. Laki-laki bisa santai saja duduk meskipun melihat ada perempuan dihadapannya berdiri sepanjang perjalanan yang waktunya berlipat karena macet.

Tetapi, dalam sesak dan sempitnya busway, aku masih menemukan orang yang rela menawarkan pegangan tangan untuk kupakai sementara dia sendiri akhinya harus bersusah-susah berpegangan pada atap bus.  Katanya di Jakarta jangan percaya pada orang asing, tapi bahkan aku menemukan teman untuk cost sharing taksi karena terburu-buru mengejar waktu sementara kami memang searah. Katanya, jangan berbicara dengan orang asing, tapi bahkan aku banyak menemukan teman satu daerah yang juga sama-sama mengadu nasib disana, hanya dengan mencoba berbincang-bincang.  Katanya jakarta panas, tapi bahkan jalan setiap aku berangkat dan pulang sebegini rindang.

Percetakan Negara IV
Mungkin, suatu kota itu hanya tergantung bagaimana kita memandangnya, bagaimana kita mempersepsikannya dalam benak, sehingga begitulah yang akan kita lihat sehari-harinya. Oleh karena itu banyak teman kulihat yang merasa nyaman-nyaman saja dengan berdesak-desakan begitu, bisa saja berdamai dengan macetnya, dan hanya merasa biasa saja untuk berangkat pagi dan pulang larut malam. Untuk akhirnya dilampiaskan dengan liburan diakhir pekan, dan pergi keluar dari Jakarta, bersenang-senang, dan kembali lagi dihari kerja, seperti tidak terjadi apa-apa.

Diluar keputusanku untuk tinggal, atau tidak tinggal di Jakarta, ingatanku hanya menyisakan memori tentang kesenangan tinggal disana. Teman-teman yang menyenangkan, rumah kos yang sudah seperti keluarga, dan suasana yang tidak membenarkan tentang anggapan banyak orang. Memang benar jika Jakarta itu macet, Jakarta itu banjir, tapi mungkin setiap kota besar pasti akan punya masalah, dan Jakarta? yah... mungkin memang begitu keadaannya. Sehingga pilihan lah yang paling menentukan, apa yang paling diinginkan, yang membuatku  memutuskan, untuk meninggalkan Jakarta.

***

Sekarang, disinilah aku, menambahkan tiga huruf didepan kata Jakarta,  menjadi Yog-Jakarta (hehe). Mesikpun dimulai dengan beberapa kegalauan, kerinduan pada Jakarta, dan keterkejutan tentang kota ini, aku menikmati tinggal disini.  Diawal perjumpaan saja, kota ini sudah mempertemukan aku dengan banyak nostalgia. Aku yakin, kota ini juga akan memberikan kejutan untukku pada dua atau banyak tahun seterusnya. Di kota yang berhati nyaman, kota tempat bapak dan ibu bertemu, sepertinya aku juga berharap untuk menemukan hal yang sama. :)

Meskipun sepertinya sudah sangat terlambat, tapi aku ingin mengucapkan untuk diri sendiri, "Selamat datang di Yogyakarta.."

Kamis, 14 November 2013

Bulan Nostalgia


Reuni-an
 Aku sebut begitu karena dalam dua bulan lalu itu, aku bertemu dengan banyak teman lama. Mulai dari teman SMA yang masih sering bertemu, atau terakhir bertemu 2 tahun yang lalu, bahkan yang sudah 7 tahun tidak bertemu. Wah, 7 tahun, kata teman, " Udah nggak usah diitung, jadi berasa tuanya" :D Kemudian, aku bertemu bahkan satu kelas lagi dengan teman-teman kuliah alih jalur UNDIP. Bertemu dengan teman kuliah diploma, dan bertemu adik kos ketika masih di Magelang.  Dan yang agak mengejutkan, bahkan aku bertemu dengan teman ketika Praktik Klinik Diploma! :)

Ketika memutuskan untuk berbelok arah, aku hanya berpikir akan bertemu teman-teman baru, namun, ternyata aku diberi bonus untuk bertemu banyak teman lama. Waktu kami semua seperti sedang diiriskan untuk bertemu dalam bulan ini. Membuatku tergerak untuk membuka Folder foto lama yang jarang aku buka. Dan kemudian melihatnya sambil tersenyum-senyum sendiri. Haha.

Berbagai hal masih membuatku takjub. Beberapa teman seperti tidak berubah, masih berdandan dengan gaya yang sama, meski aku sadar, usia membuat kami sudah 'agak' berbeda. Tapi aku lihat, mereka masih menggunakan jaket yang sama seperti yang dulu aku sering lihat, jaket kesukaan mereka. Dan yang paling menyenangkan, kami bahkan bisa langsung kembali bercerita se-seru dahulu, seperti baru kemarin berpisah. Padahal 'kemarin' yang dimaksud adalah beberapa tahun yang lalu.

Ah, sepertinya perpisahan hanyalah suatu alasan untuk menemukan cara bertemu kembali. :)

Minggu, 10 November 2013

Kotak Surat #1


Disatu sisi, seperti ingin melepas burung ditangan, membiarkannya terbang bebas, menemukan tempat baru, berkawan dengan sebanyak -banyak orang, belajar sedalam-dalamnya, dan  menikmati waktu semuda-mudanya.


Disisi lain, aku tidak ingin terbang sebebas itu. Aku ingin membangun sangkarku sendiri dan untuk itu, aku ingin kau tak pergi kemana-mana, dan segera pulang.


Kemudian aku mengingat, apa yang membuatku tertarik padamu? 
Adalah hidup bebas bertualang yang kamu miliki. Aura pemuda yang muncul dari waktu dan bebas yang kamu miliki itu. 
Dan jika aku memintamu untuk pulang, maka (mungkin) aura yang aku kagumi dulu itu akan tidak ada lagi pada dirimu.


Hingga pada akhirnya, aku sadar, bahwa mungkin perkenalan ini memang hanya ditakdirkan untuk mengenal saja, tidak sampai untuk bertemu.
Tentu saja keinginan itu ada, tetapi dengan itu,
aku akan memintamu untuk mengorbankan banyak hal, yang mungkin itu adalah mimpimu,
dan aku,
tak akan tega untuk membuatmu berusaha sejauh itu.

Aku memilih untuk tetap memandangmu dari jauh, mengagumimu saja, seperti dulu saat aku pertama kali mengenalmu.