Minggu, 10 Februari 2013

Things Happend For a Reason


Tidak ada yang kebetulan, setiap pertemuan dimaksudkan untuk terjadi sesuatu
Setiap keberadaan, dibutuhkan untuk saling melengkapi

Kadang terpikir, "buat apa si kecoa itu ada?". Bau, menggelikan. Sepertinya jika tak ada kecoa pun, hidupku akan tetap berjalan, tak ada orang yang merasa rugi. Kecuali mungkin para peneliti kecoa, pecinta kecoa, atau  para pecinta binatang, yang memelihara binatang yang harus diberi makan kecoa. Haha, sepertinya aku sudah menjawab sendiri pertanyaan "buat apa kecoa ada?". Tapi, ternyata kecoa berguna lebih dari sekedar untuk diteliti peneliti, dicintai pecintanya, atau dimakan pemakannya. Kecoa merupakan hewan yang dapat mengurai nitrogen dari sampah-sampah, untuk dapat digunakan tanaman untuk hidup. Kecoa makan sampah, didalam perut kecoa nitrogen dalam sampah dibuang lewat pup-nya. Pup mengandung nitrogen diserap tanaman. Tanaman hidup, dapat menghasilkan oksigen untuk bernafas. Tanaman sayur dapat dimasak, dijual dan dimakan. Dan.... Jika ditarik garis panjang, mungkin saja tanaman yang "diberi" jatah nitrogen oleh kecoa untuk hidup itu memberikan oksigen yang kebetulan aku hirup, dan mungkin juga tanaman itu yang akhirnya ada dalam bentuk oseng sayur di piring makanku. Dalam hubungan yang jauh, kecoa ada gunanya untukku. 

Things happend for a reason 
Tidak ada yang kebetulan, setiap perpisahan pun juga dimaksudkan untuk sesuatu. 

Seorang teman pernah mempertanyakan, setelah menonton Habibie & Ainun. Kenapa Pak Habibie dan Bu Ainun tidak ditakdirkan saja untuk terus bersama? Apa yang masih harus pak Habibie lakukan sehingga bu Ainun harus pergi lebih dulu? 
Dan jawabannya aku temukan persis keesokan harinya setelah aku -akhirnya- juga menonton Habibie Ainun. Dalam Talk show disalah satu Televisi swasta. Pak Habibie sendiri juga tak pernah menyangka, kenapa bu Ainun harus pergi lebih dulu. Beliau selalu percaya bahwa pada akhirnya nanti beliaulah yang akan pergi lebih dulu. Ketika Bu Ainun dipanggil, berpulang ke Rahmatullah, Pak Habibie sedih, sedih yang amat sangat, hingga beliau sakit. Sakit yang tak dapat diobati karena sumber sakit beliau adalah kondisi psikologisnya, kondisi sakit yang disebut Psikosomatik.

Dokter beliau memberikan 4 opsi , pertama, beliau harus diberi obat, seperti pasien-pasien sakit jiwa. Kedua , ketiga opsi lain aku lupa persisnya. Opsi keempat, beliau harus mencurahkan isi hati beliau kepada seseorang, psikiater, atau mungkin lewat tulisan. Pak Habibie memilih opsi yang terakhir, mencurahkan kesedihannya dalam bentuk buku. Hingga akhir beliau menulis, beliau mulai menyadari, kenapa Allah memanggil Bu Ainun lebih dulu. Jika Bu Ainun yang ditinggal Pak Habibie, mungkin Bu Ainun tak akan mencurahkan kesedihannya kepada siapa pun karena kepribadian beliau yang introvert. Tak akan ada buku Habibie & Ainun, tak akan ada Film Habibie & Ainun, tak akan sebanyak ini orang tahu tentang kisah cinta mereka. Tak akan ada orang yang seperti aku yang terinspirasi oleh kesejatian cinta mereka. Ya, perpisahan pun dimaksudkan untuk sesuatu. 

Things happend for a reason

Tidak ada kebetulan, walau menengok pada diriku sendiri, sepertinya banyak sekali kebetulan-kebetulan  yang aku temui. Seperti kebetulan sekali, aku melihat lowongan kerja pada situs yang sudah lewat deadline sebenarnya, tapi entah kenapa aku tetap mengirim aplikasiku. Kebetulan kemudian aku diterima bekerja di tempatku sekarang, dimana biasanya mereka mencari pekerja lewat rekomendasi dari internal organisasi tersebut. Kebetulan juga ketika akhirnya aku memutuskan mau bekerja disana, kemudian mulai mencari tempat tinggal (kos) aku berhenti pada sebuah warung. Warung bernama depot surabaya yang kemudian menunjukkan pada sebuah kos yang aku tinggali sekarang. Kos ini juga tidak pernah memasang plang karena biasanya yang bisa tinggal di kos ini, juga rekomendasi dari orang yang pernah tinggal di kos ini sebelumnya. Kebetulan sekali.

Tapi, thing happend for a reason, right?

Kebetulan-kebetulan ini, pasti penunjuk jalan untuk sesuatu. Sesuatu yang lebih dari sekedar untuk melihat ondel-ondel secara langsung. Atau melihat dan merasakan banjir secara langsung pula. Atau menjadi pengguna jalan macet ibukota yang biasanya hanya dilihat dari televisi. Lebih dari itu, keberadaanku disini pasti dimaksudkan untuk sesuatu. 

Kota dengan lautan beton
Di kota yang masih terasa bukan kota tempat tinggal impian ini, aku masih saja bertanya, untuk melakukan apa ya aku disini? Untuk menghasilkan apa? Atau,untuk bertemu siapa?


***

Untuk kamu saya ada,
dan untuk saya, kamu ada
Kita hadir untuk menyempurnakan satu sama lain
-Dee, Akar-