dalam salah satu surat kabar nasional |
Berbicara tentang
jakarta :
Katanya, Jakarta itu
lebih kejam dari pada ibu tiri
Katanya, Jakarta
hanya menjadi tempat mencari penghidupan, bukan yang dapat memberi arti pada
penghuninya.
Katanya, Jakarta itu
kota yg keras, tapi banyak orang sukses hidup disana.
Katanya, angin
bertiup disana mengatakan kamu bukan orang Indonesia jika belum pernah kesana.
Banyak yang memberi
opini tentang Jakarta, sehingga sepertinya image yang terbangun untuk yang
belum pernah kesana, mengenal Jakarta sebagai kota kejam,
keras, penuh persaingan, tetapi memiliki magnet besar untuk membuat orang semua
datang dengan janji kesuksesannya.
Bicara soal janji
kesuksesan, memang Jakarta menawarkan banyak kesempatan lebih dari kota
manapun. Membukakan mata bahwa sesuatu yang kita impikan, yang kita inginkan
sebenarnya sangat mungkin untuk kita gapai. Kesempatan itu bisa dicari untuk
mencapai kesuksesan yang diingini.
Disisi lain,
Jakarta mungkin memang keras, beberapa penghuninya begitu individualis hingga
bahkan untuk bisa duduk di kursi busway saja harus berebutan. Atau mungkin
banyak yang skeptis, sampai ada yg sampai pura-pura menutup mata jika ada orang
tua yang tidak mendapatkan tempat duduk. Laki-laki bisa santai saja duduk
meskipun melihat ada perempuan dihadapannya berdiri sepanjang perjalanan yang
waktunya berlipat karena macet.
Tetapi, dalam sesak
dan sempitnya busway, aku masih menemukan orang yang rela menawarkan pegangan
tangan untuk kupakai sementara dia sendiri akhinya harus bersusah-susah
berpegangan pada atap bus. Katanya di
Jakarta jangan percaya pada orang asing, tapi bahkan aku menemukan teman untuk
cost sharing taksi karena terburu-buru mengejar waktu sementara kami memang
searah. Katanya, jangan berbicara dengan orang asing, tapi bahkan aku banyak
menemukan teman satu daerah yang juga sama-sama mengadu nasib disana, hanya
dengan mencoba berbincang-bincang.
Katanya jakarta panas, tapi bahkan jalan setiap aku berangkat dan pulang
sebegini rindang.
Percetakan Negara IV |
Mungkin, suatu kota
itu hanya tergantung bagaimana kita memandangnya, bagaimana kita
mempersepsikannya dalam benak, sehingga begitulah yang akan kita lihat
sehari-harinya. Oleh karena itu banyak teman kulihat yang merasa nyaman-nyaman
saja dengan berdesak-desakan begitu, bisa saja berdamai dengan macetnya, dan
hanya merasa biasa saja untuk berangkat pagi dan pulang larut malam. Untuk
akhirnya dilampiaskan dengan liburan diakhir pekan, dan pergi keluar dari
Jakarta, bersenang-senang, dan kembali lagi dihari kerja, seperti tidak terjadi
apa-apa.
Diluar keputusanku
untuk tinggal, atau tidak tinggal di Jakarta, ingatanku hanya menyisakan memori
tentang kesenangan tinggal disana. Teman-teman yang menyenangkan, rumah kos
yang sudah seperti keluarga, dan suasana yang tidak membenarkan tentang anggapan
banyak orang. Memang benar jika Jakarta itu macet, Jakarta itu banjir, tapi
mungkin setiap kota besar pasti akan punya masalah, dan Jakarta? yah... mungkin
memang begitu keadaannya. Sehingga pilihan lah yang paling menentukan, apa yang
paling diinginkan, yang membuatku
memutuskan, untuk meninggalkan Jakarta.
***
Sekarang, disinilah
aku, menambahkan tiga huruf didepan kata Jakarta, menjadi Yog-Jakarta (hehe). Mesikpun dimulai dengan beberapa kegalauan,
kerinduan pada Jakarta, dan keterkejutan tentang kota ini, aku menikmati
tinggal disini. Diawal perjumpaan
saja, kota ini sudah mempertemukan aku
dengan banyak nostalgia. Aku yakin, kota ini juga akan memberikan kejutan
untukku pada dua atau banyak tahun seterusnya. Di kota yang berhati nyaman,
kota tempat bapak dan ibu bertemu, sepertinya aku juga berharap untuk menemukan
hal yang sama. :)
Meskipun sepertinya
sudah sangat terlambat, tapi aku ingin mengucapkan untuk diri sendiri, "Selamat datang di
Yogyakarta.."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar