Selasa, 21 Januari 2014

Kau (memanggilku) Malaikat

Baru pertama kali ini aku membaca tulisan karya Arswendo Atmowiloto. Namanya sering kudengar tentu saja, sebagai ibu yang melahirkan Keluarga Cemara. Kebetulan teman meminjamkannya padaku sebagai "sangu" libur sebulan, dimusim hujan ini. 


Novel ini bercerita  tentang sosok "aku" yang bisa menemui manusia disaat-saat terakhir hidup mereka, dibeberapa tempat berbeda, dalam waktu yang sama. Dia dapat menghibur, namun tidak sepenuhnya menolong mereka untuk tidak mati pada saatnya.


"Benar kan, kau malaikat?"

"Kau biasa memanggilku begitu. Kalian biasanya menyebutku begitu"

"Berarti benar kau datang untuk mencabut nyawaku"

"Tidak persis begitu. Aku tidak mencabut nyawa... Aku datang menjemput."
-p.7

Dia datang pada siapa saja, yang sudah mendekati waktunya untuk di jemput. Dia datang pada Ibu Tesarini, seorang istri yang setia, tulus, mengabdi pada suami, anak dan menantunya. Di saat-saat mendekati akhir waktunya yang ingin ia tanyakan adalah suaminya, yang sudah meninggal lebih dulu, yang hidupnya selalu bahagia  dan yang mempermalukan dan merendahkan dengan mengawini adik menantunya.



Pada preman yang dibakar hidup-hidup, pelan-pelan, dikeroyok, dibakar dan tak mau dikasihani. Pada seorang gadis penuh pesona, yang ditembak polisi karena menolak diperkosa. Seorang  pengemudi bis yang tahu kendaraannya kurang layak jalan, serta anak-anak sekolah yang menumpang. Juga, hampir saja, seekor ayam.



Dia datang, dan dapat berbincang dengan mereka semua, saat mereka sudah tidak mungkin kembali hidup. Mereka berkeluh kesah, bercerita tentang hidup yang mereka jalani, tentang rencana-rencana yang belum sempat mereka lakukan, tentang penyesalan. Dia mendengarkan, mengetahui dan mengerti perasaan itu, tapi tidak bisa merasakannya.


"Andai bisa, apa yang akan kaulakukan? Menunda?"

"Kami tidak bisa berandai-andai, Ibu."

"O, agak membosankan juga"

"Kami tak merasakan itu."

 -p.48

Cara penulis menceritakan  satu per satu tokoh yang diceritakan, melalui kacamata "aku" yang sebagai malaikat ini sungguh menarik. Seperti puzzle yang dirangkai satu persatu, kemudian utuh menjadi pesan yang dapat dibaca sebagai sebuah perjalanan hidup tokoh-tokohnya hingga detik kematian, bahkan setelah kematian itu terjadi. Ketika sedang membaca novel ini, kebetulan aku mendapat kabar tentang beberapa teman seumuranku yang meninggal. Beberapa bagian dari cerita ini membuat aku (terkadang merinding) membayang-bayangkan seperti apa jadinya mereka yang meninggal muda itu, lalu kemudian bagaimana aku nantinya. Memang, tak ada yang terlalu tua, atau terlalu muda untuk meninggal, semuanya tepat, sesuai waktunya.



Kemudian "aku" datang pada seorang anak kecil, bernama wedi, wedhi yang dalam bahasa Jawa berarti pasir, dipanggil sebagai  Di. Umurnya hampir empat, dan ia berkata pernah melihatnya berkali-kali, bahkan ketika didalam kandungan. Di berbeda. Di dapat tetap berada di pangkuan orangtuanya saat seharusnya meninggalkannya. Bahkan Di sekarang masih dapat sering menemaninya, Di masih berada di bumi manusia.


"Karena kau bukan manusia, Kau tak akan pernah menjadi manusia. Sedangkan manusia bisa menjadi malaikat."

"Benarkah , Di?"

 -p.190
Hingga pada akhirnya, "aku" menemukan kangen, merasakannya.  Ia yang sedang bersama nyawa-nyawa lain menghadapi kematian yang sesungguhnya sangat indah dan menyenangkan, melihat ternyata hidup manusia juga penuh pesona.


Mereka mengagumkan justru karena bisa terbang kemanapun dengan tembang, dengan puisi, dengan senyum, dengan air mata. Mereka tampak ganjil, aneh, memperdebatkan atau melakukan hal-hal yang menurutku sia-sia, tetapi bisa  membuat mereka bahagia, tertawa dan menerima. Air mata, itulah sebenarnya sayap paling penuh makna.

Aku berharap memilikinya. 
-p.271
Meskipun buku ini bercerita tentang seorang malaikat yang dapat menjemput mereka yang mati, tapi buku ini lebih banyak bercerita tentang kehidupan, yang direfleksikan dalam proses kematian atau cerita setelah kematian itu terjadi. Selain itu penulis menggambarkan malaikat disini tanpa tendency pada agama tertentu. Malaikat disini tidak jelas dan tidak digambarkan sebagai laki-laki atau perempuan, tidak tahu apakah ia menyeramkan ataukah tampan. Ia langsung dikenali sebagai malaikat oleh orang-orang yang akan dijemput dalam cerita ini.
Mungkin, penulis hanya ingin memberi gambaran dari sudut pandang yang benar-benar berbeda. Memberi pandangan tentang kehidupan, ketika sehari-hari kau dihadapkan dengan kematian...

In conclusion : Worth to read, I think.
Selamat membaca! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar