Yang paling tidak
bisa kuhadapi selama tinggal di Jakarta, adalah Macet! Pernah suatu ketika
terjebak dalam kemacetan perjalanan dari Bandung ke Jakarta yang memakan waktu
hingga 7 jam padahal seharusnya bisa 3 jam. Aku sungguh ternyata bukan orang
yang bisa bersabar. Kutempelkan wajahku sedekat-dekatnya dengan kaca pintu
karena bosan. Kemudian kulihat dengan malas orang-orang berlalu lalang dijalan,
ternyata masih ada yang sempat berjualan bunga. Ya. Bertangkai-tangkai bunga
mawar merah yang sedang di tawar-tawarkan termasuk kepada supir mobil yang aku
tumpangi.
Kemudian salah satu
atasanku, berceletuk bercanda "Dek, aku kasih kamu satu bunga, tapi
sabar deh ya, memang lagi macet"
dengan logatnya yang ke-batak-batak-an.
Aku tersenyum dan
mengalihkan pandanganku dari jendela, aku jadi menyadari, atasanku sedari tadi
sama sekali tidak mengeluh dengan kemacetan ini. Tidak pula terlihat jenuh,
atau kehilangan mood dengan kemacetan ini. Padahal aku tahu setelah dari
Bandung itu, beliau harus sudah berada di suatu tempat pukul 16.00 WIB, dan
saat itu sudah pukul 17.00 WIB, tambah lagi kami terjebak kemacetan sehingga
mobil hanya bergerak 20 Km/jam.
Beliau sibuk
mengerjakan tugasnya dismartphonenya, dan sesekali menelepon orang jauh dikota
lain sana, hanya -h a n y a- untuk memberi semangat. Aku, selama berada di Ibukota, sungguh takjub dengan ibu-ibu
atasanku itu. Entah energi dari mana yang membuat mereka bersemangat untuk
memperjuangkan sesuatu yang (menurutku) sudah tidak ada hubungannya
dengan mereka. Dimasa usia mereka yang sudah senja, mereka tidak memilih duduk
menimang cucu, bersantai-santai di kebun rumah mereka yang luas. Mereka memilih
aktif di Organisasi ini, merelakan waktu mereka untuk habis di perjalanan
menuju tempat sana sini untuk menghadiri pertemuan, mendiskusikan sesuatu,
memperjuangkan Bidan padahal mereka saat ini sudah tidak akan berdinas lagi
sebagai bidan. Katanya mereka berjuang demi bidan agar setara dengan profesi
lain. Entah mungkin aku yang terlalu naif
tidak bisa melihat dimana mereka meletakkan kepentingan mereka sehingga
mereka mau sedimikian berlelah-lelah berjuang demi profesi ini. Tetapi aku
sungguh kagum dengan semangat dan tenaga mereka diusia yang sudah terbilang
senja.
Mereka sudah
beradaptasi dengan baik dengan kota Jakarta ini, menjadikan Jakarta yang macet
menjadi teman dalam perjalanan sehari-hari mereka yang padat jadwal. Bersama
dengan Jakarta ini mereka menemukan kesuksesan mereka di bidangnya. Sedikit
yang aku tahu tentang pengambilan kebijakan di negeri ini, di tingkat pusat,
yang dapat memberi pengaruhlah yang dapat bergerak menentukan kebijakan yang
mengikat orang banyak itu. Terlepas dari apa motif dan kepentingan mereka, aku
hanya ingin mengingat semangat dan daya juang mereka yang perlu aku teladani.
Mungkin seperti itu lah yang akan terjadi jika kayu bersambut dengan api.
Passion yang menemukan jalannya, berbuah kecintaan yang total pada pekerjaan
yang dikerjakannya, bahkan sampai tua.
Dan tak kupungkiri,
jika saja aku tak ke Jakarta yang macet itu, mungkin aku tak akan belajar
tentang hal ini. Ya, sebelum aku lupa tentang kota itu, aku ingin mengenang
semua pikiran yang sempat terlintas selama aku menjalani hari-hariku disana. Sebagai jawaban pertanyaanku yang lalu, untuk
apa aku harus berada di Jakarta.