Jumat, 27 September 2013

Belajar di Jakarta

Yang paling tidak bisa kuhadapi selama tinggal di Jakarta, adalah Macet! Pernah suatu ketika terjebak dalam kemacetan perjalanan dari Bandung ke Jakarta yang memakan waktu hingga 7 jam padahal seharusnya bisa 3 jam. Aku sungguh ternyata bukan orang yang bisa bersabar. Kutempelkan wajahku sedekat-dekatnya dengan kaca pintu karena bosan. Kemudian kulihat dengan malas orang-orang berlalu lalang dijalan, ternyata masih ada yang sempat berjualan bunga. Ya. Bertangkai-tangkai bunga mawar merah yang sedang di tawar-tawarkan termasuk kepada supir mobil yang aku tumpangi.

Kemudian salah satu atasanku, berceletuk bercanda "Dek, aku kasih kamu satu bunga, tapi sabar  deh ya, memang lagi macet" dengan logatnya yang ke-batak-batak-an.

Aku tersenyum dan mengalihkan pandanganku dari jendela, aku jadi menyadari, atasanku sedari tadi sama sekali tidak mengeluh dengan kemacetan ini. Tidak pula terlihat jenuh, atau kehilangan mood dengan kemacetan ini. Padahal aku tahu setelah dari Bandung itu, beliau harus sudah berada di suatu tempat pukul 16.00 WIB, dan saat itu sudah pukul 17.00 WIB, tambah lagi kami terjebak kemacetan sehingga mobil hanya bergerak 20 Km/jam.

Beliau sibuk mengerjakan tugasnya dismartphonenya, dan sesekali menelepon orang jauh dikota lain sana, hanya -h a n y a- untuk memberi semangat. Aku, selama berada di Ibukota, sungguh takjub dengan  ibu-ibu atasanku itu. Entah energi dari mana yang membuat mereka bersemangat untuk memperjuangkan sesuatu  yang (menurutku) sudah tidak ada hubungannya dengan mereka. Dimasa usia mereka yang sudah senja, mereka tidak memilih duduk menimang cucu, bersantai-santai di kebun rumah mereka yang luas. Mereka memilih aktif di Organisasi ini, merelakan waktu mereka untuk habis di perjalanan menuju tempat sana sini untuk menghadiri pertemuan, mendiskusikan sesuatu, memperjuangkan Bidan padahal mereka saat ini sudah tidak akan berdinas lagi sebagai bidan. Katanya mereka berjuang demi bidan agar setara dengan profesi lain. Entah mungkin aku yang terlalu naif tidak bisa melihat dimana mereka meletakkan kepentingan mereka sehingga mereka mau sedimikian berlelah-lelah berjuang demi profesi ini. Tetapi aku sungguh kagum dengan semangat dan tenaga mereka diusia yang sudah terbilang senja.

Mereka sudah beradaptasi dengan baik dengan kota Jakarta ini, menjadikan Jakarta yang macet menjadi teman dalam perjalanan sehari-hari mereka yang padat jadwal. Bersama dengan Jakarta ini mereka menemukan kesuksesan mereka di bidangnya. Sedikit yang aku tahu tentang pengambilan kebijakan di negeri ini, di tingkat pusat, yang dapat memberi pengaruhlah yang dapat bergerak menentukan kebijakan yang mengikat orang banyak itu. Terlepas dari apa motif dan kepentingan mereka, aku hanya ingin mengingat semangat dan daya juang mereka yang perlu aku teladani. Mungkin seperti itu lah yang akan terjadi jika kayu bersambut dengan api. Passion yang menemukan jalannya, berbuah kecintaan yang total pada pekerjaan yang dikerjakannya, bahkan sampai tua.

Dan tak kupungkiri, jika saja aku tak ke Jakarta yang macet itu, mungkin aku tak akan belajar tentang hal ini. Ya, sebelum aku lupa tentang kota itu, aku ingin mengenang semua pikiran yang sempat terlintas selama aku menjalani hari-hariku disana. Sebagai jawaban pertanyaanku yang lalu, untuk apa aku harus berada di Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar