Senin, 25 November 2013

Goodbye Jakarta, Welcome Jog-Jakarta




dalam salah satu surat kabar nasional

Berbicara tentang jakarta :

Katanya, Jakarta itu lebih kejam dari pada ibu tiri
Katanya, Jakarta hanya menjadi tempat mencari penghidupan, bukan yang dapat memberi arti pada penghuninya.
Katanya, Jakarta itu kota yg keras, tapi banyak orang sukses hidup disana.
Katanya, angin bertiup disana mengatakan kamu bukan orang Indonesia jika belum pernah kesana.

Banyak yang memberi opini tentang Jakarta, sehingga sepertinya image yang terbangun untuk yang belum pernah kesana, mengenal Jakarta sebagai kota kejam, keras, penuh persaingan, tetapi memiliki magnet besar untuk membuat orang semua datang dengan janji kesuksesannya.

Bicara soal janji kesuksesan, memang Jakarta menawarkan banyak kesempatan lebih dari kota manapun. Membukakan mata bahwa sesuatu yang kita impikan, yang kita inginkan sebenarnya sangat mungkin untuk kita gapai. Kesempatan itu bisa dicari untuk mencapai kesuksesan yang diingini.

Disisi lain, Jakarta mungkin memang keras, beberapa penghuninya begitu individualis hingga bahkan untuk bisa duduk di kursi busway saja harus berebutan. Atau mungkin banyak yang skeptis, sampai ada yg sampai pura-pura menutup mata jika ada orang tua yang tidak mendapatkan tempat duduk. Laki-laki bisa santai saja duduk meskipun melihat ada perempuan dihadapannya berdiri sepanjang perjalanan yang waktunya berlipat karena macet.

Tetapi, dalam sesak dan sempitnya busway, aku masih menemukan orang yang rela menawarkan pegangan tangan untuk kupakai sementara dia sendiri akhinya harus bersusah-susah berpegangan pada atap bus.  Katanya di Jakarta jangan percaya pada orang asing, tapi bahkan aku menemukan teman untuk cost sharing taksi karena terburu-buru mengejar waktu sementara kami memang searah. Katanya, jangan berbicara dengan orang asing, tapi bahkan aku banyak menemukan teman satu daerah yang juga sama-sama mengadu nasib disana, hanya dengan mencoba berbincang-bincang.  Katanya jakarta panas, tapi bahkan jalan setiap aku berangkat dan pulang sebegini rindang.

Percetakan Negara IV
Mungkin, suatu kota itu hanya tergantung bagaimana kita memandangnya, bagaimana kita mempersepsikannya dalam benak, sehingga begitulah yang akan kita lihat sehari-harinya. Oleh karena itu banyak teman kulihat yang merasa nyaman-nyaman saja dengan berdesak-desakan begitu, bisa saja berdamai dengan macetnya, dan hanya merasa biasa saja untuk berangkat pagi dan pulang larut malam. Untuk akhirnya dilampiaskan dengan liburan diakhir pekan, dan pergi keluar dari Jakarta, bersenang-senang, dan kembali lagi dihari kerja, seperti tidak terjadi apa-apa.

Diluar keputusanku untuk tinggal, atau tidak tinggal di Jakarta, ingatanku hanya menyisakan memori tentang kesenangan tinggal disana. Teman-teman yang menyenangkan, rumah kos yang sudah seperti keluarga, dan suasana yang tidak membenarkan tentang anggapan banyak orang. Memang benar jika Jakarta itu macet, Jakarta itu banjir, tapi mungkin setiap kota besar pasti akan punya masalah, dan Jakarta? yah... mungkin memang begitu keadaannya. Sehingga pilihan lah yang paling menentukan, apa yang paling diinginkan, yang membuatku  memutuskan, untuk meninggalkan Jakarta.

***

Sekarang, disinilah aku, menambahkan tiga huruf didepan kata Jakarta,  menjadi Yog-Jakarta (hehe). Mesikpun dimulai dengan beberapa kegalauan, kerinduan pada Jakarta, dan keterkejutan tentang kota ini, aku menikmati tinggal disini.  Diawal perjumpaan saja, kota ini sudah mempertemukan aku dengan banyak nostalgia. Aku yakin, kota ini juga akan memberikan kejutan untukku pada dua atau banyak tahun seterusnya. Di kota yang berhati nyaman, kota tempat bapak dan ibu bertemu, sepertinya aku juga berharap untuk menemukan hal yang sama. :)

Meskipun sepertinya sudah sangat terlambat, tapi aku ingin mengucapkan untuk diri sendiri, "Selamat datang di Yogyakarta.."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar